GALERI MADRASATUL QURAN |

Oleh : Nabhan Hawari

Suatu malam, di pondok pesantren NURUL HUDA seluruh santri sedang membicarakan acara Maulid Nabi. “Tidak terasa hari berlalu dengan cepat, besok sudah peringatan Maulid Nabi.” ucap salah seorang santri.

“Iya San, eh.. katanya besok malam ada festival banjari di pondok kita.“ ujar si Umar.

        Ditengah-tengah pembicaraan Hasan dan Umar, tiba-tiba Zaid menyelat “Percaya nggak kalian?“,”Apa ?“ kata meraka berdua.

        ”Aku di pilih menjadi anggota banjari “ seru Zaid.

         “Besok aku akan tampil di acara peringatan Maulid Nabi.” Hasan menjawab.

        ”Bagaimana kamu bisa di pilih,kenapa tidak aku saja?”

        ”Aku tidak tahu, tadi aku di panggil ke kantor pengurus, kata ustadz aku ditunjuk menjadi anggota banjari”.

        Di tengah-tengah pembicaraan ustadz datang. ”Ayo semua santri tidur-tidur! sudah malam.“ seru ustadz. Akhirnya semua santri tidur di kamar masing-masing .

Kriing… suara bel pondok berbunyi, saatnya para sntri untuk bangun dari tidurnya.

“San..san, bangun. Sudah bel.” ujar Ahmad, teman sekamar Hasan.

“Ayo san! Cepat bangun!.” teriak Ahmad sambil menggoyang-goyangkan tubuh Hasan.

“Oh iya, makasih sudah bangunin.” lanjut Hasan.

Kemudian mereka berangkat menuju ke masjid. Setelah sholat Shubuh, mereka lanjut makan.

“Diberitahukan untuk para santri untuk memakai baju putih, dan segera menuju ke lapangan pusat.” pengumuman dari pengurus ini membuat para santri bingung.

 Zaid, seorang santri yang kepo-an,“Ustadz, kenapa harus memakai baju putih? Kenapa harus ke lapangan pula?” tanya nya kepada ustadz.

Santri yang lain pun ikut bertanya. “Tenang-tenang! hari ini sekolah libur, kita akan melakukan upacara Hari Santri” jawab ustadz. “Ayo siap-siap!” tutur ustadz.

Seluruh santri telah mempersiapkan diri masing-masing, lalu berangkat bersama-sama menuju ke lapangan. Hasan, Ahmad, Umar, dan Zaid berangkat bersama-sama, memang keempat santri ini selalu bersama.

Setelah sampai di lokasi, ternyata tidak hanya santri Nurul Huda yang berada di lapangan, akan tetapi, santriwati Nurul Hidayah juga ikut serta mengikuti upacara ini, seluruh santri tampak khidmat dan kondusif dalam mengikuti upacara ini.

Setelah upacara dilaksanakan, santri diperbolehkan untuk istirahat terlebih dahulu, ada yang membeli makanan di kantin, dan ada beberapa santriwati Nurul Hidayah yang kembali ke pondok.         Bertepatan dengan itu, Hasan dan kawan-kawannya tengah asyik membeli makanan, tiba-tiba, seorang santriwati menghampiri mereka berempat. “Eeh.. mas Ahmad” panggil santriwati itu.

“Eeh.. neng Fatimah, lama kita tidak bertemu, bagaimana kabarnya?” tanya Ahmad.

 “Alhamdulillah, sehat wal afiyat.” jawab Fatimah.

Ditengah pembicaraan mereka berdua, seperti biasa Zaid menyelat. “Mad, Ini siapa?” tanya Zaid.

“Perkenalkan Ini saudariku, namanya Fatimah” Jawab Ahmad. Ahmad pun mengenalkan Fatimah kepada Hasan, Zaid, dan Umar.    Disamping Fatimah, ada seorang santriwati cantik yang sejak dari tadi diam di sampingnya. Ahmad penasaran terhadapnya. “Fatimah, ini siapa?” tanya Ahmad.

“ Ini temanku, namanya Zainab, dia yang nanti akan ikut acara banjari di pondokmu.” Jawab Fatimah.

“ Zainab! Bagaimana kamu bisa ikut acara banjari? Kamu nanti jadi apa? Kamu kan perempuan.” tanya Zaid penasaran.

“ Aku nanti malam ke pondokmu Bersama santriwati pilihan untuk menjadi vocal.” Jawab Zainab.

 Ditengah-tengah makan Bersama dan canda tawa antara mereka, tiba-tiba Umar bertanya. “Zaid, kamu makan apa?”

“Aku makan seblak level maksimal” jawab Zaid sambal ber-hah kepedesan.

“Pedas ya? Nanti sakit perut loh” ketus Umar.

 “Santai, perutku gak bakal sakit kok” jawab Zaid sambil terus makan walaupun kepedasan.

Hari mulai sore, beberapa santriwan dan santriwati mulai berkurang meninggalkan kantin untuk kembali ke pondoknya masing-masing.

 “Fatimah, Aku pamit ya…” ujar Ahmad.

“Ya mas…, aku juga pamit.” Jawab Fatimah. Hasan dan lainnya juga turut berpamitan kepada Fatimah dan Zainab.

“Zainab, sampai ketemu nanti malam ya…” ujar si Zaid.

“Ya,Insya Allah nanti malam aku ke pondokmu, lihat penampilanku nanti ya…” kata Zainab, Zaid mengangguk.

Setelah seluruh santri berada di pondok masing-masing. “Gimana udah siap untuk acara nanti malam?” tanya umar kepada Zaid.

Zaid terdiam sambil memegang perutnya. “Jangan gugup..” kata Hasan menenangkan Zaid.

 “Bukan begitu, tapi aku sakit perut.“ jawab Zaid dengan tetap memegang perutnya.

 “Tuhkan sakit perut, tadikan aku sudah bilang jangan makan seblak, masih kuat gak ikut acara nanti?” tanya umar sedang khawatir.

”Sepertinya aku ngak kuat.“ jawab Zaid dengan risau. Ditengah kecemasan keempat santri ini. “Ada apa ini?” tanya ustadz.

“Ini ustadz, Zaid gak bisa ikut acara karena sakit perut.” Jawab Umar.

“Terus siapa yang akan menggantikan Zaid diacara nanti malam?” ustadz bertanya.

Ditengah kebingungan, Hasan memberanikan diri “Ustadz bagaimana kalau saya yang menggantikan?” kata Zaid.

 “Kamu yakin bisa?” tanya ustadz.

“Insyaallah saya bisa, saya juga ingin tampil diacara banjari nanti malam.” jawab Hasan dengan yakin.

“Baiklah acara akan dimulai dalam beberapa jam lagi.. san cepat siap-siap!” kata ustadz.

Hari mulai gelap, panggung telah siap, seluruh vokalis dari pondok Nurul Hidayah juga telah datang. ”Kira-kira aku bisa ndak ya?” tanya Hasan agak gugup.

”Tenang aja tadi kamu kan sudah yakin.” jawab Ahmad.

”Harap seluruh anggota banjari naik keatas panggung!” perintah ustadz. Seluruh vokalis dan penabuh naik keatas panggung termasuk Zainab dan Hasan.”Assalamualikum. War. Wab.”, ”Eh acara sudah di mulai” ujar si Umar.

Acara banjari ini berlangsung dengan meriah, meskipun Hasan tampil tanpa latihan, tapi bisa tampil dengan lancar dan baik, setelah acara selesai, Zaenab dan para santriwati lainnya berpamitan.

“San gimana senang nggak?, takut nggak?” tanya Zaid.

“Iya senang, awalnya gugup tapi lama-lama jadi biasa saja.” jawab Hasan.

”Kamu sudah sehat?” tanya Hasan dengan penasaran.

”Iya masih sakit sedikit, tadi aku ikut lihat acaranya meskipun muter-muter ke kamar mandi, penampilanmu bagus.“ ujar Zaid sambil memuji, Hasan menjadi tersenyum.

”Hasan, ini konsumsimu,terimakasih sudah memggantikan Zaid.” kata ustadz.

”Terimakasih ustadz, ayo dimakan bareng.” kata Hasan.

”Oke…” jawab mereka bersama.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: