GALERI MADRASATUL QURAN |

“….Kalau aku ikut ujian lalu di tanya tentang pahlawan,namamu,IBU, akan kusebut paling dulu…….”

Oleh : Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Trunojoyo Madura, wali santri MQ

Demikian penggala puisi berjudul ibu, salah satu karya monumental KH. D. Zawawi Imron yang telah diterjemahkan lebih dari 7 bahasa. Sastrawan dari Kabupaten Sumenep, Madura, peraih penghargaan dari kerajaan Thailand yakni The S.E.A Write Award pada 2012, ini menggambarkan sekaligus mengingatkna bahwa sosok seorang Ibu, adalah pahlawan utama yang seringkali terabaikan. Bukan karena besar kecilnya jasa yang telah di torehkan, tetapi sangking dekatnya sosok seorang ibu dalam kehidupan kita. Ini persis ungkapan pepatah “Gajah di prlupuk mata tida tampak, semut di seberang lautan tampak”

Zaman yang terus berubah, akses pendidikan semakin luas, pembangunan ekonomi lebih merata, dan era keterbukaan informasi yang tidak terbendung, telah melahirkan konsep pahlawan dan menciptakan kepahlawanannya sendiri. Pahlawan-pahlawan baru memberikan kontribusi bagi penyelesaian masalah-masalah sosial,ekonomi,hukum,budaya dan pendidikan bagi masyarakat Indonesia, sekarang dan yang akan datang.

Melalui japri (jaringan pribadi), saya mencoba menghubungi para guru dan kolegan lintas generasi, sekadar untuk mendengar pendapatnya tentang Pahlawan Zaman sekarang.

Pertama,saya sebut sebagai generasi tauladan. diterangkan dengan singkat, jelas dan menggambarkan dinamisme atas kata pahlawan, KH. D. Zawawi Imron berbertutur “Petani yang berasnya kita makan, nelayan yang ikannya kita santap, dan semua yang ikut mesejahterakan bangsa ini adalah pahlawan”. Pahlawan semakin luas, berbagai bidang prosesi masuk di dalamnya.

senada dengan kiai Zawawi, Ketua LPPM institutpertanian Bogor yang juga mantan Ketua PCUN Internasional London, Aji Hermawan menyatakan “Munggohku yo pahlawan kuwi orang yang memberikan manfaat besar ke masyarakat tanpa pamrih”. Yang membedakan, Mas Aji, begitu panggilan akrabnya, menambahkan secara tegas tentang perbuatan yang dilandasi dengan keihklasan, tanpa pamrih atau tidak mengharapkan balasan atas perbuatan baik yang dilakukannya.

Kedua, saya sebut generasi tangguh. KH. Hilman Wajdi, atau Gus Andik, salah satu putra Almarhum KH. Hasyim Muzadi, yang sekarang menjadi Pengasuh pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Malang menyatakan, “orang-orang yang mampu mengawal kebhinekaan Indonesia, juga bisa menjadi pahlawan. Lebih lanjut,menurutnya, “Almarhum Mbah Maimun itu contoh pahlawan, sebab beliau bisa momong semuanya”

Ramai pemberitaan tentang persekusi yang dialami mahasiswa asal Papua di Surabaya, dan kerusuhan di Monakwari, Papua Barat, mengingatkan dan menyadarkan kita, betapa heterogennya masyarakat Indonesia. Maka, kemampuan untuk bisa menjaga kebhinekaan ini, adalah kemmapuan luar biasa. hanya bisa dilakukan oleh mereka yang tuntas wawasan kebangsaan, kenegaraan da ke-Indonesia-annya. Yang demikian jelas harus disebut sebagai pahlawan.

Demikian juga KH. Muktafi Aschal, pengasuh Pondok Pesantren Sirrul Cholil, Bangkalan, salah satu cicit Syaic hona Cholil Bangkalan menyatakan, “Orang-orang yang berdedikasi tinggi terhadap bangsa dan negara sudah menjadi pahlawan dengan sendirinya. Pun demikian, dengan orang-orang yang membuat hidup kita lebih berguna, mengajarkan banyak hal dan berperan dalam kemajuan hidup”. Lalu siapakah mereka? Aksin Wijaya, Ketua Program Pasca Sarjana STAIN Ponorogo yang juga juara 2 Dosen Teladan Nasional Kementrian Agama RI, dengan tegas menyatakan, “Kyai dan orangtua adalah pahlawan kita.”

Ketiga, saya sebut generasi unggul. Erfandi, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, menyampaikan dengan detail gagasannya, “Pahlawan adalah warga negara Indonesia yang telah :

1) Memimpin atau melakukan perjuangan bersenjata

2) Melahirkan gagasan besar yang ber pengaruh pada pembangunan nasional

3) Yang dilakukan mempunyai dampak yang luas

4) Memiliki nasionalisme yang tinggi

5) Memiliki moral dan akhlak yang tinggi”.

Anak muda hebat salah satu peraih beasiswa S3 LPDP Santri dan Alumni Michigan State University, Dodik Pranata Wijaya, ketika saya tanya tentang Pahlawan, menyatakan, “Guru adalah pahlawan yang luar biasa. Kitalah yang menentukan masa depan, tetapi guru lah yang telah menunjukkan jalan itu. Melalui petunjuk para guru, kita dapat meraihnya sekarang dan masa akan datang. Tetapi yang utama dan jangan pernah dilupakan adalah orangtua. Karena keiklasan dan doa tiada henti. ketika melepas kita belajar, kita dapat sukses dan meraih impian”.

Pun demikian dengan tegas dan jelas, Slamet Ariadi, anak muda hebat. yang baru saja ditetapkan oleh KPU sebagai calon anggota DPR RI terpilih dari Dapil Jawa Timur 11 dalam Pemilu 2019, menyatakan siapa saja yang pantas disebut sebagai pahlawan, “Pahlawan pertama saya adalah orangtua. Kedua para kiai atau guru saya.”

Tergambar jelas, bahwa pahlawan dan kepahlawanan itu terus bergeser bentuk dan maknanya. Di antara perbedaan itu, titik temunya adalah “ke manfaatan yang dirasakan masyara kat atas hadirnya pribadi-pribadi yang ikhlas mangabdikan dirinya untuk bersama membangun kehidupan yang lebih baik. Mereka, diantaranya, adalah orangtua dan guru.

Tantangan dan Tawaran Solusi Menjadi orangtua dan guru, dari zaman ke zaman, tantangannya terus berubah dan semakin berat. Di zaman sekarang, guru tidak hanya harus mampu menguasai materi pembelajaran, tetapi juga harus mempu memahami hukum dan hak asasi manusia. Sering kita dengar dalam pemberitaan, orang tua yang berlebihan dalam menyikapi perbuatan hukum antara guru dan muridnya. Tidak sedikit guru dilaporkan polisi karena dianggap berlebihan ketika menegakkan disiplin dalam proses pembelajaran. Bahkan, di Madura, seorang guru kontrak harus tewas setelah mendapat penganiyaan dari muridnya.

Berbuat jahat saja banyak tantangannya, apalagi berbuat baik bagi sesama, rintangan luar biasa siap menghadang. Tebayang sumpah Iblis, “la (Iblis) berkata, Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semua” (lihat Al Qur’an Surah Al Hijr: 39). Ini menegaskan, akan selalu ada rintangan untuk berbuat baik.

Tetapi berbuat baik dengan ikhlas, tidak boleh berhenti dilakukan, “Ketika banyak orang kehilangan keikhlasannya dalam perjuangan menegakkan kebenaran, maka tetaplah lakukan, walaupun sendirian. Sebab, perjuangan yang dilandasi keiklasan 24 karat,maka Allah dan Malaikatlah yang menyertaimu!”demikian pesan japri Masykuri Ihsan, Wakil Bupati Kediri, mengutip nasehat KH. Hasyim Muzadi kepada beliau.

Lalu, apa saja hal-hal yang bisa menjadi tantangan?

Pertama, ketauladanan. Kita tahu, bahwa tauladan paling sempurna ada lah Nabi Muhammad SAW. Muhammad adalah maha guru lintas zaman. Sebagai orangtua, ia mengajarkan agar tidak memaki dan mencaci-maki seorang anak, dan tidak pilih kasih. Pun demikian, Nabi benar-benar memperhatikan bagaimana mendidik putra-putrinya dengan nasehat dan tauladan dalam perbuatan. Allah berfirman, dalam Al Qur’an Surah Al Ahzab : 21 “Sungguh, telah ada pada (diri) Rosulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah”.

Mari perhatikan, generasi sekarang lebih banyak bergaul, meminta nasehat dan bertauladan dari internet dan rekan-rekannya. Sementara orangtua, semakin sibuk bekerja memenuhi tuntutan ekonomi. Dan, di sekolah, karena berbagai alasan, guru mulai kehilangan kewibawaan. Akibatnya, tidak jarang kita jumpai, banyak anak pinter tapi prilakunya gak bener. Kehilangan ke cerdasan sosial, seperti tata karma, sopan santun, dan kurang menghormati orangtua maupun orang tua.

Ada kita dapati, anak-anak dengan kemampuan inovasi dan kreativitas tinggi namun kering rasa simpati dan empatinya, kemanusiaannya, dan/atau kepeduliannya terhadap lingkungan. Ruhani dan jiwa yang kering kerontang ini sebagian akibat menurunnya frekuensi dan intensitas siraman nasehat bijak orangtua, dan doa serta restu guru-guru di sekolah Kata pepatah “Anak yatim itu, bukanlah anak-anak yang di tinggal mati orangtuanya. Tetapi anak-anak yang tidak dapat dekat dengan ibunya, atau ayahnya yang selalu sibuk dan tidak ada waktu buat anaknya.

Maka, kita harus merebut kemball hati anak-anak, bahwa ketauladanan itu ada pada diri orangtua dan guru- gurunya di sekolah/pesantren, dengan memulai bertegur sapa dan berdialog tentang banyak hal terutama perihal cita-cita mereka, agar sebagai orangtua dan guru, kita mengenali anak-anak dengan baik.

Kedua, lingkungan. Sabda Nabi SAW, “Seseorang bergantung pada agama temannya, maka hendaklah ia melihat dengan siapa dia berteman”. Ini menunjukan, kita harus mampu menciptakan lingkungan yang baik bagi tumbuh kembang anak-anak. Mereka, anak-anak yang mempunyai watak keras, cenderung intoleran, cuek, dan mau menang sendiri, bisa jadi tumbuh dari lingkungan yang demikian.

Peristiwa pengeboman beberapa gereja di Surabaya sekian waktu lalu, yang melibatkan anak-anak, mengajarkan ke pada kita, bagaimana seharusnya lingkungan yang baik itu diciptakan untuk tumbuh kembang anak. Di lingkungan sekolah, sekarang pemerintah gencar mempromosikan program Sekolah Ramah Anak, yaitu tempat belajar baik formal dan nonformal yang aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargal hak-hak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi dan perlakuan salah lainnya. Ada baiknya, program ini juga diadopsi dalam lingkungan Pendidikan pertama dan yang utama, yakni keluarga.

Secara hukum, posisi anak sangat dilindungi perundang-undangan. Sebab, karena lemahnya fisik, ketergantungan ekonomi, dan belum banyaknya pengalaman, anak-anak rentan menjadi korban tindakan-tindakan yang mengarah pada pelanggaran hukum, seperti menjadi korban persekusi atas dasar warna kulit, suku, agama dan/atau bahkan penanaman doktrin-doktrin salah yang mengarah pada perbuatan pelanggaran hukum, seperti menjadi pelaku bom bunuh diri.

Maka membentuk lingkungan yang ramah anak harus menjadi prioritas Bersama, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.

Ketiga, kewajiban azazi. Pasal 26 ayat (1) UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, menegaskan bahwa kewajiban orangtua diantaranya;

a) Mengasuh,memelihara, mendidik dan melindung anak

b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya

c) Mencegah perkawinan pada usia anak

d) Menanamkan pendidikan karakter dan budi pekerti pada anak. Kalau diringkas, Al-Qur’an menekankan agar setiap anak dibekali akidah yang benar, penguasaan pada Iptek, dan moral yang baik.

Itu semuanya adalah tanggungjawab orangtua untuk memenuhinya Sekolah dan/atau Pondok Pesantren, hanya sarana dan prasarana untuk mewujudkannya. Dengan mengirim anak belajar ke sekolah atau pesantren, bukan berarti tanggungjawab orangtua telah beralih. Dua pihak, sekolah dan orangtua adalah dua pilar utama keberhasilan anak meraih cita-cita. Satu pilar lainnya, adalah lingkungan. Ketiganya berbagi peran menurut tugas dan ke wajibannya masing-masing.

Orangtua, sekolah/pesantren, dan lingkungan harus se-lya dan se-kata dalam meberikan Pendidikan tentang akidah, ilmu pengetahuan dan moral. Dengan demikian, akan lahir generasi. yang kuat, yakni generasi yang siap memenangkan persaingan di tengah kehidupan masyarakat yang semakin keras, tanpa tercerabut dari akar keimanan dan ketakwaannya, tanpa kehilangan kemanusiannya, dan tidak cuek pada lingkungannya.

Inilah yang kita sebut sebagai generasi unggul, yakni generasi yang mampu menjaga amanah, peduli dan kreatif. Sikap amanah terbangun dari pemahaman agama yang benar Peduli merupakan sikap toleren pada lingkungan winys dan kreatif adalah kemampuan beradaptasi dalam dinamika masyarakat yang dinamis. Jika ketiga sikap ini mandarah daging dalam diri seorang anak muda, Isya Allah, kita akan benar-benar meninggalkan satu generasi yang kuat dan tidak ada kekuatan pada diri

Ada baiknya, kita mengingat peringatan Allah SWT. “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah dibelakang mereka yang mereka kuatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar” (lihat Al Qur’an, Surah AnNisa’: 4)

Anak-Anak Zaman

Ali bin Abi Thalib pernah menyampaikan, “Didiklah anakmu tidak seperti kamu dididik. Karena mereka akan hidup di zamannya, bukan zamanmu” Anak-anak memiliki zamannya sendiri. Mereka lahir, tumbuh dan berkembang untuk mengukir sejarahnya sendiri. Membangun satu peradaban baru, yang bisa saja sama sekali berbeda dengan keadaan zaman orangtuanya Tetapi ada banyak hal yang sama, berulang dan terjadi lagi, hanya berubah wujud. tidak pada perubahan substansinya, yang kesemuanya tersaji dalam kisah-kisah yang disampaikan dalam Al Qur’an.

Oleh karena itu, mengajarkan Al Qur’an agar dimengerti, dipahami, dan dilaksanakan kepada generasi baru bukanlah sesuatu yang ketinggalan zaman. Justeru sangat keren sekali Ulama-ulama besar jaman dahulu seperti Ibnu Sina, sang peletak dasar ilmu-ilmu kedoteran jaman sekarang dibidang ilmu astronomi ada nama Abu Jakfar Al Mansyur, Kholifah jaman Abbastah Jabir bin Aflah, pembangun observarium pertama dan lainnya, mengawali semuanya dari mempelajari Al Qur’an sebagai bekal untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan lainnya, untuk suatu peradaban baru, yang hari ini disebut sebagai modernisasi.

Setelah itu, anak-anak harus dikenalkan pada dua bentuk literasi lainnya. teknologi dan kebangsaan. Pertama, literasi teknologi bertujuan agar anak mengerti dan paham perkembangan dan pemanfaatan teknologi, bahwa teknologi diciptakan untuk mempermudah tugas-tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi, bukan sebaliknya justeru manusia yang diperbudak teknologi. Teknologi mendekatkan yang jauh, tetapi tidak mampu mengalahkan dahsyatnya silaturrahmi. Teknologi memudahkan orang belajar hal-hal.

baru, tetapi didampingi seorang guru, menjadikan hal baru itu manfaat dan barokah, tidak sebaliknya melahirkan malapetaka dan musibah kemanusiaan.

Kedua, literasi kebangsaan bertujuan untuk memperkenalkan bangsa besar ini, Indonesia, adalah warisan para ulama Menyakinkan kepada generasi baru bahwa Pancasila merupakan anugerah terbesar dari Allah SWT untuk Indonesia Untuk itu, merawat dan mencintai warisan para ulama berbentuk Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini adalah bentuk rasa syukur dan perwujudan keimanan kepada Allah SWT, Hubbul Wathon Minal Iman.

Keterbukaan informasi melalui jaringan teknologi yang luar biasa terbuka, menjadikan kita lebih mudah mengenal dan mendapatkan informasi tentang berbagai paham dan ideologi kenegaraan dari berbagai belahan dunia. Hal ini tidak hanya perlu diwaspadai, tetapi generasi baru juga segera perlu dibekali dengan pemahaman yang benar atas sejarah perjuangan seluruh bangsa Indonesia untuk merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdakaan selama ini. Dengan demikian, Informasi atas berbagai ideologi lain, tidak membuat guncang keyakinan dan kecintaan kepada Pancasila dan NKRI.

Kecintaan terhadap Pancasila dan kebanggaan menjadi warga NKRI, harus tumbuh dan berkembang dalam kesadaran generasi Qur’ani. Hanya dengan Pancasila, semua bebas menjalankan agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan dengan memahami agama secara benar, Pancasila dan NKRI semakin kuat dan menjadi Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur

Harapan

Jika orangtua dan guru mampu melaksanakan semua itu, semoga kita mendapat bagian dari kewajiban yang Allah SWT berikan kepada setiap orang yakni memuliakan kedua orangtuanya. Allah berfirman dalam Al Qur’an, Surah Al Ahqof; 15, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyampihnya selama tiga puluh bulan, sehingga ketika telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia berdoa Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan agar aku mendapatkan kebajikan yang Engkau ridlai, dan berikanlah aku kebaikan yang akan mengalir sampai anak cucuku. Sungguh aku bertaubat kepada Engkau, dan Sungguh, aku termasuk orang muslim.”

Meraka berdua, orangtua dan guru, adalah pahlawan-pahlawan sejati sepanjang peradaban manusia terhampar di muka bumi.

dikutip dari majalah MQ times edisi ke 4 yang berjudul “Aku, Tentang Pahlawan”.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: